“ Woke up in London yesterday found myself in the city near Piccadilly
don’t really know i got here i got some pictures on my phone...”
07.00
Mataku terbuka pagi ini merasakan
ada sesuatu yang berbeda. Penglihatanku yang blur seolah berubah normal dalam hitungan milidetik karena aku
menyadari kalau ini bukan kamarku, tempat yang biasa aku gunakan setiap hari untuk
melakukan segala sesuatu. Jendela masih tertutup rapat, aku nggak bisa merasakan
sinar matahari menembus jendela dan biasanya, memantulkan cahaya yang membuatku
harus melipat rapi selimutku dan menggerutu kalau saja aku bukan tipe morning person. Bukan, bukan suara alarm
ponsel yang kali ini membangunkanku, tapi suara kicauan burung yang terdengar
jelas di luar kamar. Ini burung-burung
dari mana? Pikirku. Mencoba meyakinkan kalau aku sudah nggak berada di alam
mimpi atau dalam pengaruh halusinasi alkohol
yang bahkan aku tidak meminumnya semalam, aku meraih smartphoneku yang tergeletak di night
stand dan masih dalam keadaan airplane
mode. Aku pun meragukan kepintaran ponselku karena nggak bisa merekam
kejadian limabelas jam terakhir. Hal
terakhir yang aku ingat, aku ada di suatu comfy
and fluffy seat pesawat dengan headphone
yang nggak pernah lepas dari telingaku, menuju suatu tempat, dimana sepasang
kaki ku belum pernah injak sebelumnya, larut di satu One Republic’s song-scene yang selalu aku putar saat travelling dan memberiku motivasi untuk
pergi ke “suatu tempat” ini, tempat yang selalu membuatku bertanya bagaimana
rasanya kalau suatu hari aku bisa pergi kesana, tempat yang selalu memunculkan goosebumps diseluruh permukaan kulitku setiap
aku melihatnya. Yang aku ingat, aku mendengar suara perempuan dengan aksen yang
kental, bahwa occupied plane ini akan
membawaku terbang menuju Heathrow. ARE
YOU JOKING OR ARE YOU KIDDING? Masih nggak percaya kalau #1 bucket list-ku sebentar lagi akan accomplishly crossed. Penglihatanku blur dan aku tidak lagi mendengar
sepintas suara pun setelahnya. Terlalu berat untuk membuka mata dan terasa
seperti tertempel segenggam power glue.
Terlepas dari hal yang bisa kuingat semalam, aku berdiri untuk membuka tirai glittery gold di depanku dengan jendela kaca
cukup tebal yang berukir seperti di abad-19. Pantas saja sinar matahari terhalang, pikirku. Benar, jam raksasa
yang biasa aku lihat miniaturnya tiapkali aku akan memulai aktivitas, wujud
aslinya sekarang hanya sejauh seratus meter dari pandanganku. No S*it Sherlock! It’s really you. Icon Kota London yang biasa aku
lihat di tv, kota yang membuatku berjanji pada diri sendiri untuk berkunjung
sebelum mati, kota yang selalu membuatku bertanya bagaimana rasanya jika aku
berada disana walaupun hanya sekali.
08.00
Aku mencoba meyakinkan diri sekali
lagi kalau ini benar terjadi. Kuperhatikan semua sudut expensive-look hotel room yang aku tempati, seperti wanita desa
yang mendadak kaya dan masih buta segalanya, atau terbangun di negeri lain
seperti di film-film yang pernah kutonton, they
really got fancy furniture here. Aku tertawa kecil karena merasa seperti
bagian dari Royal Family. Aku bergegas membersihkan diri setelah sadar kalau 14
jam penerbangan ini membuat penampilanku terlihat homeless, lalu melangkahkan kaki ke restoran yang terletak di lantai
dasar hotel, it’s very nice. Interiornya
yang membuatku merasa sedang berada di abad 18, tentu saja lebih classic dari hotel room-ku, dan si pelayan yang menurutku sopannya mungkin
mengalahkan mas-mas yang sedang menawarkan bisnis MLM. Ia menyajikan makanan di
atas piring keramik putih yang berisi semacam sosis, a perfectly-perfect shape telur mata sapi, sejenis roti yang belum
pernah kumakan sebelumnya, dan secangkir twinings
tea. Oh, it’s english breakfast!
Di dalam hotel, tepat ditengah kota London. Very
British of me.
09.30
Aku memutuskan untuk mencari angin segar
sekaligus pemanasan karena badanku rasanya hampir remuk terlalu lama hibernasi
di dalam pesawat. Terdengar sayup-sayup nada London Calling milik The Clash dari iPodku yang sengaja kukecilkan
volumenya. Aku berjalan menginjak banyak daun berserakan yang terdengar seperti
suara retakan, masih mengira kalau semacam apocalypse
baru saja terjadi. Oh, It’s only Autumn.
Aku mengamati orang-orang lalu lalang, dari yang terlihat sibuk berjalan dengan
cepat sambil menerima telepon di ponsel, sampai orang-orang yang tahu bagaimana
cara menikmati pagi dengan duduk-duduk di coffee
shops dan kedai-kedai makanan, larut dalam percakapan mereka masing-masing.
So warm but so cold. Saat aku
mengamati kebiasaan pagi mereka, aku melihat beberapa orang sedang bersepeda
dan bus dua lantai yang mereka sebut Double Decker, berjalan dengan lambat. Hal yang tidak biasa kutemui jika
berada di kota ku. Mungkin sekarang ada Double Decker di Jakarta, tapi yang aku
tahu hanya untuk wisata dan temporary purposes.
Nggak akan ada di Jakarta, shelter
untuk menyewa sepeda seharian yang bisa kukembalikan dimana saja. This is England. This is London. Ini pasti akan seru banget! Tapi bagaimana
bisa aku menikmati waktu singkat ini kalo peta saja kemampuanku sangat buruk
untuk membacanya? Oh England, lend me a
hand. Take me for a walk.
10.00
Here i am, dikelilingi
orang-orang sibuk yang waktu sedetik saja nggak mungkin mereka buang, aku bisa
lihat betapa sibuknya mereka. Aku memaksa kaki ku untuk tetap melangkah kemanapun
yang bisa memberiku petunjuk arah. But i
feel like this city is leading me to somewhere, sampai aku lihat satu
istana yang ukurannya super-mega di
depanku. Right, this is the Buckingham
Palace that i used to see the picture. Sekarang, di depanku. Aku pun penasaran
apa Royal Family ada di dalam sana. Awalnya, istana ini memang bukan alasan
utamaku untuk mengunjungi Inggris. But now,
you are not lying, England. It’s even
prettier than pictures you have bragged about.
10.45
Saat aku berjalan di Victoria
Park tepat didekat istana, seseorang menghampiriku. Dia terlihat seperti
laki-laki yang baru saja dewasa, mungkin dua atau tiga tahun lebih tua dariku.
Dia terlihat familiar dengan seseorang yang biasa aku temui. Bukan wajahnya
yang aku ingat. Tapi mata yang berwarna hijau emerald muda, mengingatkanku pada sebongkah batu permata . Hey, mungkin kita bisa berdiam diri di taman
ini lebih lama lagi dan aku nggak akan bosan ngelihat mata itu. Dia
menawarkan untuk memberiku arah dan sekedar menemaniku berjalan-jalan. Mungkin
dia tahu kalau aku terlihat seperti anak ayam kehilangan induk disini. Namun, aku
merasa ada yang aneh dari orang ini. Setiap aku mencoba untuk menanyakan
namanya, dengan spontan ia menjawab “Let’s
take a walk! We don’t want to waste the time away.” Oh. Maybe it’s you,
England, send me this guy to accompany my lonely-self.
11.00
Dia bertanya apa aku mau menyewa
sepeda untuk berjalan-jalan. That’s
one of my to-do list here. Really,
England. Ini sangat jauh berbeda. Aku nggak akan bisa naik sepeda on a typical normal day kalau aku masih
di Jakarta. Mereka mungkin malah memaki ku karena mereka pikir nggak pantas
untuk naik sepeda di jalan raya. Dan disinilah aku sekarang , wandering around the streets like crazy head
but people still get their attention off of me, mungkin kalau aku coba
untuk naik sepeda sambil kayang juga nggak akan ada yang peduli. Hanya hitungan
menit mengayuh sepeda, aku sampai di satu tempat yang mungkin ini assembly point-nya burung-burung di
London. Trafalgar Square. Suatu tempat dimana Londoners biasanya berkumpul. Aku
beristirahat di dekat air mancur cukup besar yang airnya mengalir jernih dan
membuatku ingin meneguknya, sampai “si mata emerald” itu datang dan menyodorkan
satu buah shepherd pie dan sebotol barley water. Dia bercerita bagaimana
Trafalgar Square ini bisa dibangun dan difungsikan. Hey, even when he’s speaking, his eyes are sparkling.
12.30
Ternyata, se-menyenangkan apapun dua
jam terakhir ini, perutku tetap saja anti-toleransi. Ia mengajakku untuk pergi
ke salah satu kedai makanan bernama The Rib Man yang terletak di King’s Cross.
Dia bilang kalau mereka punya grill ribs ter-enak di London. I totally do agree. Setelah perutku terisi, dia menawarkan diri
untuk menemaniku ke Liverpool. Hanya 10 menit dari King’s Cross Station, kereta
pun berhenti di stasiun Liverpool dan ditengah jalan, ia menarikku masuk ke salah satu bangunan
yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan istana yang kulihat tadi pagi.
The Beatles Story. Aku merasa hidup di tiga dekade sebelumnya mengikuti
perjalanan mereka. Plus, he bought me a
very cool official t-shirt. Siapa yang nggak cinta gratisan? Kita semua
cinta gratisan.
14.30
Ditengah jalan, aku menanyakan apa sebenarnya
ritual afternoon tea yang dilakukan
orang-orang Inggris, karena aku pernah berjanji kalau nggak akan minum teh
Inggris kecuali di tempatnya sendiri. Seperti tahu yang aku maksud, ia
mengajakku ke salah satu kedai kecil yang menyediakan seperangkat ritual afternoon tea, lengkap dengan makanan
kecil ala kerajaan. Aku meneguk secangkir kecil teh yang masih terasa aneh
karena aku nggak menggunakan campuran apapun. Kalau dibandingkan dengan teh di
Indonesia, rasanya nggak berbeda jauh, dan mungkin lidahku lebih terbiasa
menerima teh Indonesia yang memang kuminum hampir setiap pagi dengan campuran
satu sendok gula.
16.00
Dia meneruskan panduannya dengan
mengajakku ke Oxford. Aku tahu kalau universitas ini mempunyai reputasi nomor
satu di dunia dengan lulusan-lulusan terbaik, serta orang-orangnya
mempunyai gaya fashion yang menurutku cukup bagus. Ia mengajakku untuk pergi ke
Wellington Street, dimana university office
itu berada. Kalau saja ada
kesempatan, aku nggak bakal nolak untuk bisa belajar literatur Inggris disini.
Pikirku. Dia pun membawaku ke Oxford Street yang banyak dibicarakan orang,
sambil menceritakan berbagai festival musik yang setiap tahun nggak ada
habisnya di Inggris.
18.00
Saat kita berjalan tanpa tujuan
dan larut di suatu percakapan “Autumn in London”, dia mengarahkanku ke sepasang
menara. Aku bertanya apa kita bisa naik boat
disini dan keliling Sungai Thames. He is
actually realizing it, bersama beberapa turis lain yang sibuk mengabadikan
dengan kamera. Sebenarnya, aku bukan tipe orang yang selalu mengambil banyak
gambar di tempat baru. Mungkin aku melakukannya sekali, atau dua kali.
Saat aku pergi ke suatu tempat baru, apalagi tempat impianku, aku lebih memilih
untuk memotret semua dengan mataku, bukan melulu kamera. Karena seringkali, saat
orang-orang sibuk mencoba untuk mengabadikan satu moment, moment lain lebih
banyak terlewat.
20.00
Aku selalu bertanya bagaimana rasanya
naik London Eye pada suatu malam di musim gugur. And here i am, di salah satu big
capsule ikon Kota London, yang seharusnya aku berjanji untuk melakukan hal
ini pertama kali sesampainya di London. But
that’s okay, ini terasa lebih sepadan dan terlihat breathtaking dari ketinggian. Dia juga bilang kalau naik London Eye
saat autumn night juga seolah merupakan pelariannya yang sering dia lakukan beberapa tahun terakhir ini. Gila, mungkin kalau
mesinnya dimatikan dan aku ditinggal di dalam kapsul bagian paling atas
sendirian, aku juga nggak akan nolak.
21.00
Bukan bermaksud untuk menanyakan
sesuatu yang menurut orang disini kurang sopan, dia bertanya apakah aku cukup legal untuk pergi ke pub dan minum. Of course, i’m bloody nineteen! Kecuali kalau aku berada di Amerika
atau Indonesia, mungkin dia bisa mengajakku dua tahun lagi. Aku rasa
orang-orang di Jakarta mungkin lebih familiar dengan keberadaan bar dibandingkan pub. Di London, semua kalangan berbaur di pub, mulai orang-orang kantor yang butuh refreshment, sampai orang-orang yang hanya sekedar ngobrol dan minum
beer. Aku bisa merasakan saat mereka berinteraksi
satu sama lain, mengenal orang-orang baru dan langsung merasa menjadi satu
kelompok karena menonton pertandingan bola, serta tentu saja, get wasted together. Sangat berbeda
dengan bar beserta hingar bingarnya, pub lebih terasa homey bagiku. Dia memesan dua gelas beer berukuran sedang karena
dia tahu kalau aku sama sekali nggak mengerti minuman disini dan pastinya belum
terbiasa. Ha, you can’t do this in your
hometown. Not right now. Now, take couples big gulp of it.
23.00
Mataku mulai terlihat 5 watt karena aku belum terbiasa dengan
perbedaan waktu disini. Jetlag won’t go
away that fast, dummy. Aku tetap nggak percaya kalau dalam waktu kurang
dari 24 jam, aku bisa mencoret urutan satu bucket
list-ku. Thanks to you, stranger!
Sebagai usaha terakhir, aku bersikeras untuk menanyakan namanya. Lagi dan lagi.
Tetap, dia hanya menjawab “Go take a walk
back home! you surely don’t want to waste the time away. Until we meet again!” Dia
pun membalikkan badan dan siluetnya menghilang menjauhi blok demi blok hotel yang aku
tempati. It’s okay if i never get to know
him, England. Because now, i have known a little part of you. Kalau saja
aku punya lebih banyak waktu, aku bisa mengeksplor seluruh bagian dari Inggris.
England, Take a walk with me again,
sometime.