Minggu, 25 Mei 2014

England, Take A Walk With Me.


“ Woke up in London yesterday found myself in the city near Piccadilly don’t really know i got here i got some pictures on my phone...”
                                                                
07.00 

Mataku terbuka pagi ini merasakan ada sesuatu yang berbeda. Penglihatanku yang blur seolah berubah normal dalam hitungan milidetik karena aku menyadari kalau ini bukan kamarku, tempat yang biasa aku gunakan setiap hari untuk melakukan segala sesuatu. Jendela masih tertutup rapat, aku nggak bisa merasakan sinar matahari menembus jendela dan biasanya, memantulkan cahaya yang membuatku harus melipat rapi selimutku dan menggerutu kalau saja aku bukan tipe morning person. Bukan, bukan suara alarm ponsel yang kali ini membangunkanku, tapi suara kicauan burung yang terdengar jelas di luar kamar. Ini burung-burung dari mana? Pikirku. Mencoba meyakinkan kalau aku sudah nggak berada di alam mimpi atau dalam pengaruh halusinasi  alkohol yang bahkan aku tidak meminumnya semalam, aku meraih smartphoneku yang tergeletak di night stand dan masih dalam keadaan airplane mode. Aku pun meragukan kepintaran ponselku karena nggak bisa merekam kejadian limabelas jam terakhir.  Hal terakhir yang aku ingat, aku ada di suatu comfy and fluffy seat pesawat dengan headphone yang nggak pernah lepas dari telingaku, menuju suatu tempat, dimana sepasang kaki ku belum pernah injak sebelumnya, larut di satu One Republic’s song-scene yang selalu aku putar saat travelling dan memberiku motivasi untuk pergi ke “suatu tempat” ini, tempat yang selalu membuatku bertanya bagaimana rasanya kalau suatu hari aku bisa pergi kesana, tempat yang selalu memunculkan goosebumps diseluruh permukaan kulitku setiap aku melihatnya. Yang aku ingat, aku mendengar suara perempuan dengan aksen yang kental, bahwa occupied plane ini akan membawaku terbang menuju Heathrow. ARE YOU JOKING OR ARE YOU KIDDING? Masih nggak percaya kalau #1 bucket list-ku sebentar lagi akan accomplishly crossed. Penglihatanku blur dan aku tidak lagi mendengar sepintas suara pun setelahnya. Terlalu berat untuk membuka mata dan terasa seperti tertempel segenggam power glue. Terlepas dari hal yang bisa kuingat semalam, aku berdiri untuk membuka tirai glittery gold di depanku dengan jendela kaca cukup tebal yang berukir seperti di abad-19. Pantas saja sinar matahari terhalang, pikirku. Benar, jam raksasa yang biasa aku lihat miniaturnya tiapkali aku akan memulai aktivitas, wujud aslinya sekarang hanya sejauh seratus meter dari pandanganku. No S*it Sherlock! It’s really you. Icon Kota London yang biasa aku lihat di tv, kota yang membuatku berjanji pada diri sendiri untuk berkunjung sebelum mati, kota yang selalu membuatku bertanya bagaimana rasanya jika aku berada disana walaupun hanya sekali.

08.00

Aku mencoba meyakinkan diri sekali lagi kalau ini benar terjadi. Kuperhatikan semua sudut expensive-look hotel room yang aku tempati, seperti wanita desa yang mendadak kaya dan masih buta segalanya, atau terbangun di negeri lain seperti di film-film yang pernah kutonton, they really got fancy furniture here. Aku tertawa kecil karena merasa seperti bagian dari Royal Family. Aku bergegas membersihkan diri setelah sadar kalau 14 jam penerbangan ini membuat penampilanku terlihat homeless, lalu melangkahkan kaki ke restoran yang terletak di lantai dasar hotel, it’s very nice. Interiornya yang membuatku merasa sedang berada di abad 18, tentu saja lebih classic dari hotel room-ku, dan si pelayan yang menurutku sopannya mungkin mengalahkan mas-mas yang sedang menawarkan bisnis MLM. Ia menyajikan makanan di atas piring keramik putih yang berisi semacam sosis, a perfectly-perfect shape telur mata sapi, sejenis roti yang belum pernah kumakan sebelumnya, dan secangkir twinings tea. Oh, it’s english breakfast! Di dalam hotel, tepat ditengah kota London. Very British of me.

09.30

Aku memutuskan untuk mencari angin segar sekaligus pemanasan karena badanku rasanya hampir remuk terlalu lama hibernasi di dalam pesawat. Terdengar sayup-sayup nada London Calling milik The Clash dari iPodku yang sengaja kukecilkan volumenya. Aku berjalan menginjak banyak daun berserakan yang terdengar seperti suara retakan, masih mengira kalau semacam apocalypse baru saja terjadi. Oh, It’s only Autumn. Aku mengamati orang-orang lalu lalang, dari yang terlihat sibuk berjalan dengan cepat sambil menerima telepon di ponsel, sampai orang-orang yang tahu bagaimana cara menikmati pagi dengan duduk-duduk di coffee shops dan kedai-kedai makanan, larut dalam percakapan mereka masing-masing. So warm but so cold. Saat aku mengamati kebiasaan pagi mereka, aku melihat beberapa orang sedang bersepeda dan bus dua lantai yang mereka sebut Double Decker, berjalan dengan lambat. Hal yang tidak biasa kutemui jika berada di kota ku. Mungkin sekarang ada Double Decker di Jakarta, tapi yang aku tahu hanya untuk wisata dan temporary purposes. Nggak akan ada di Jakarta, shelter untuk menyewa sepeda seharian yang bisa kukembalikan dimana saja. This is England. This is London. Ini pasti akan seru banget! Tapi bagaimana bisa aku menikmati waktu singkat ini kalo peta saja kemampuanku sangat buruk untuk membacanya? Oh England, lend me a hand. Take me for a walk.

10.00

Here i am, dikelilingi orang-orang sibuk yang waktu sedetik saja nggak mungkin mereka buang, aku bisa lihat betapa sibuknya mereka. Aku memaksa kaki ku untuk tetap melangkah kemanapun yang bisa memberiku petunjuk arah. But i feel like this city is leading me to somewhere, sampai aku lihat satu istana yang ukurannya super-mega di depanku. Right, this is the Buckingham Palace that i used to see the picture. Sekarang, di depanku. Aku pun penasaran apa Royal Family ada di dalam sana. Awalnya, istana ini memang bukan alasan utamaku untuk mengunjungi Inggris. But now, you are not lying, England. It’s even prettier than pictures you have bragged about.

10.45

Saat aku berjalan di Victoria Park tepat didekat istana, seseorang menghampiriku. Dia terlihat seperti laki-laki yang baru saja dewasa, mungkin dua atau tiga tahun lebih tua dariku. Dia terlihat familiar dengan seseorang yang biasa aku temui. Bukan wajahnya yang aku ingat. Tapi mata yang berwarna hijau emerald muda, mengingatkanku pada sebongkah batu permata . Hey, mungkin kita bisa berdiam diri di taman ini lebih lama lagi dan aku nggak akan bosan ngelihat mata itu. Dia menawarkan untuk memberiku arah dan sekedar menemaniku berjalan-jalan. Mungkin dia tahu kalau aku terlihat seperti anak ayam kehilangan induk disini. Namun, aku merasa ada yang aneh dari orang ini. Setiap aku mencoba untuk menanyakan namanya, dengan spontan ia menjawab “Let’s take a walk! We don’t want to waste the time away.” Oh. Maybe it’s you, England, send me this guy to accompany my lonely-self.

11.00

Dia bertanya apa aku mau menyewa sepeda untuk berjalan-jalan. That’s one of my to-do list here. Really, England. Ini sangat jauh berbeda. Aku nggak akan bisa naik sepeda on a typical normal day kalau aku masih di Jakarta. Mereka mungkin malah memaki ku karena mereka pikir nggak pantas untuk naik sepeda di jalan raya. Dan disinilah aku sekarang , wandering around the streets like crazy head but people still get their attention off of me, mungkin kalau aku coba untuk naik sepeda sambil kayang juga nggak akan ada yang peduli. Hanya hitungan menit mengayuh sepeda, aku sampai di satu tempat yang mungkin ini assembly point-nya burung-burung di London. Trafalgar Square. Suatu tempat dimana Londoners biasanya berkumpul. Aku beristirahat di dekat air mancur cukup besar yang airnya mengalir jernih dan membuatku ingin meneguknya, sampai “si mata emerald” itu datang dan menyodorkan satu buah shepherd pie dan sebotol barley water. Dia bercerita bagaimana Trafalgar Square ini bisa dibangun dan difungsikan. Hey, even when he’s speaking, his eyes are sparkling.

12.30

Ternyata, se-menyenangkan apapun dua jam terakhir ini, perutku tetap saja anti-toleransi. Ia mengajakku untuk pergi ke salah satu kedai makanan bernama The Rib Man yang terletak di King’s Cross. Dia bilang kalau mereka punya grill ribs ter-enak di London. I totally do agree. Setelah perutku terisi, dia menawarkan diri untuk menemaniku ke Liverpool. Hanya 10 menit dari King’s Cross Station, kereta pun berhenti di stasiun Liverpool dan ditengah jalan, ia menarikku masuk ke salah satu bangunan yang tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan istana yang kulihat tadi pagi. The Beatles Story. Aku merasa hidup di tiga dekade sebelumnya mengikuti perjalanan mereka. Plus, he bought me a very cool official t-shirt. Siapa yang nggak cinta gratisan? Kita semua cinta gratisan.

14.30

Ditengah jalan, aku menanyakan apa sebenarnya ritual afternoon tea yang dilakukan orang-orang Inggris, karena aku pernah berjanji kalau nggak akan minum teh Inggris kecuali di tempatnya sendiri. Seperti tahu yang aku maksud, ia mengajakku ke salah satu kedai kecil yang menyediakan seperangkat ritual afternoon tea, lengkap dengan makanan kecil ala kerajaan. Aku meneguk secangkir kecil teh yang masih terasa aneh karena aku nggak menggunakan campuran apapun. Kalau dibandingkan dengan teh di Indonesia, rasanya nggak berbeda jauh, dan mungkin lidahku lebih terbiasa menerima teh Indonesia yang memang kuminum hampir setiap pagi dengan campuran satu sendok gula.

16.00

Dia meneruskan panduannya dengan mengajakku ke Oxford. Aku tahu kalau universitas ini mempunyai reputasi nomor satu di dunia dengan lulusan-lulusan terbaik, serta orang-orangnya mempunyai gaya fashion yang menurutku cukup bagus. Ia mengajakku untuk pergi ke Wellington Street, dimana university office itu berada. Kalau saja ada kesempatan, aku nggak bakal nolak untuk bisa belajar literatur Inggris disini. Pikirku. Dia pun membawaku ke Oxford Street yang banyak dibicarakan orang, sambil menceritakan berbagai festival musik yang setiap tahun nggak ada habisnya di Inggris.

18.00

Saat kita berjalan tanpa tujuan dan larut di suatu percakapan “Autumn in London”, dia mengarahkanku ke sepasang menara. Aku bertanya apa kita bisa naik boat disini dan keliling Sungai Thames. He is actually realizing it, bersama beberapa turis lain yang sibuk mengabadikan dengan kamera. Sebenarnya, aku bukan tipe orang yang selalu mengambil banyak gambar di tempat baru. Mungkin aku melakukannya sekali, atau dua kali. Saat aku pergi ke suatu tempat baru, apalagi tempat impianku, aku lebih memilih untuk memotret semua dengan mataku, bukan melulu kamera. Karena seringkali, saat orang-orang sibuk mencoba untuk mengabadikan satu moment, moment lain lebih banyak terlewat.

20.00

Aku selalu bertanya bagaimana rasanya naik London Eye pada suatu malam di musim gugur. And here i am, di salah satu big capsule ikon Kota London, yang seharusnya aku berjanji untuk melakukan hal ini pertama kali sesampainya di London. But that’s okay, ini terasa lebih sepadan dan terlihat breathtaking dari ketinggian. Dia juga bilang kalau naik London Eye saat autumn night juga seolah merupakan pelariannya yang sering dia lakukan beberapa tahun terakhir ini. Gila, mungkin kalau mesinnya dimatikan dan aku ditinggal di dalam kapsul bagian paling atas sendirian, aku juga nggak akan nolak.

21.00

Bukan bermaksud untuk menanyakan sesuatu yang menurut orang disini kurang sopan, dia bertanya apakah aku cukup legal untuk pergi ke pub dan minum. Of course, i’m bloody nineteen! Kecuali kalau aku berada di Amerika atau Indonesia, mungkin dia bisa mengajakku dua tahun lagi. Aku rasa orang-orang di Jakarta mungkin lebih familiar dengan keberadaan bar dibandingkan pub. Di London, semua kalangan berbaur di pub, mulai orang-orang kantor yang butuh refreshment, sampai orang-orang yang hanya sekedar ngobrol dan minum beer. Aku bisa merasakan saat mereka berinteraksi satu sama lain, mengenal orang-orang baru dan langsung merasa menjadi satu kelompok karena menonton pertandingan bola, serta tentu saja, get wasted together. Sangat berbeda dengan bar beserta hingar bingarnya, pub lebih terasa homey bagiku. Dia memesan dua gelas beer berukuran sedang karena dia tahu kalau aku sama sekali nggak mengerti minuman disini dan pastinya belum terbiasa. Ha, you can’t do this in your hometown. Not right now. Now, take couples big gulp of it.

23.00

Mataku mulai terlihat 5 watt karena aku belum terbiasa dengan perbedaan waktu disini. Jetlag won’t go away that fast, dummy. Aku tetap nggak percaya kalau dalam waktu kurang dari 24 jam, aku bisa mencoret urutan satu bucket list-ku. Thanks to you, stranger! Sebagai usaha terakhir, aku bersikeras untuk menanyakan namanya. Lagi dan lagi. Tetap, dia hanya menjawab “Go take a walk back home! you surely don’t want to waste the time away. Until we meet again!” Dia pun membalikkan badan dan siluetnya menghilang menjauhi blok demi blok hotel yang aku tempati. It’s okay if i never get to know him, England. Because now, i have known a little part of you. Kalau saja aku punya lebih banyak waktu, aku bisa mengeksplor seluruh bagian dari Inggris. England, Take a walk with me again, sometime. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar